Selasa, 13 Maret 2018

Tradisi Tenun Ikat Nusantara


Judul
:
Tradisi Tenun Ikat Nusantara
Penyunting
:
Benny Gratha & Judi Achjadi
Penerbit
:
Bab Publishing Indonesia
Tahun Cetak
:
2016
Halaman
:
152
ISBN
:
978-979-8926-33-4
Harga
:
Rp. 130.000
Status
:
Ada


Budaya wastra Indonesia mencakup teknik yang sangat beragam. Teknik rintang warna yang secara universal mengacu pada tenun ikat mungkin adalah teknik yang paling dikenal. Kata ‘ikat’ berasal dari Bahasa Melayu yang berarti mengikat. Pada proses ini, bagian benang yang tidak ingin dikenai warna tertentu pada proses pencelupan, diikat kuat-kuat dengan serat alam yang dapat menahan pewarna agar tidak dapat menembus ke dalam sserat benang. Hasil akhirnya berupa sepotong wastra dengan ragam hias yang rumit dan kompleks yang memiliki kualitas tinggi dan proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang lebih lama.

Ikat lungsi ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, diantaranya di tanah Batak di Sumatra Utara. Pulau Flores, Sumba, Roti, Sawu dan Timor di Nusa Tenggara Timur, di Kalimantan, terutama di daerah pedalaman, di Sulawesi, di daerah Rongkong dan Galumpang, dan di kepulauan Maluku, terutama di Pulau Tanimbar dan Kisar.

Ragam hias ikat pada wastra Indonesia sering menampilkan pengaruh asing, diantaranya pengaruh wastra dari India yang sangat populer di seluruh kepulauan Nusantara, yang oleh penduduk setempat ditafsirkan dengan caranya sendiri sehingga menghasilkan wastra yang mengagumkan, dan kadang-kadang lebih indah dari aslinya. Hal inilah yang menjadikan budaya wastra Indonesia saat ini dianggap sebagai salah satu yang terbaik di dunia.

Wastra tradisional memiliki fungsi khusus dalam kehidupan sosial, agama, estetika, dan ekonomi masyarakat di Indonesia. Tenun ikat sudah sejak lama diketahui memiliki fungsi khusus tersebut. Berdasarkan catatan sejarah, ikat lungsi dan ikat pakan telah meresap ke dalam budaya setempat pada waktu dan dengan cara yang berbeda, di mana ikat lungsi dikenal lebih dahulu daripada ikat pakan.

Di Kalimantan, ikat lungsi yang disebut Pua Kumbu, yang ditenun oleh masyarakat Dayak di pedalaman, digunakan pada berbagai upacara adat di rumah panjang. Di Sulawesi, masyarakat Toraja yang menempati daerah pegunungan di bagian utara Sulawesi Selatan, membuat selimut ikat lungsi yang memiliki fungsi penting pada upacara penguburan. Sedangkan tradisi ikat lungsi di Jawa berpusat di sekitar Troso di daerah pesisir Jawa Tengah dan ikat pakan di Gresik dan juga Lamongan di seberangan perbatasan di Jawa Timur. Para penenun di daerah tersebut membuat tenun dengan teknik ikat menggunakan ragam hias tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, terutama dari daerah Indonesia Timur. Masyarakat Jawa menggunakan wastra tersebut untuk berbagai keperluan, baik untuk tradisional maupun modern, juga untuk diekspor ke berbagai negara.

Buku ini bertujuan untuk mengeksplorasi budaya tenun ikat di Indonesia yang rumit. Budaya tenun ikat di setiap daerah akan dibahas secara menyeluruh. Setiap perbedaan disebutkan dan diberi penjelasan yang memadai, dan perkembangannya juga dianalisa. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi pengantar yang seksama tentang kekayaan tenun ikat di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...