Selasa, 24 September 2019

Sejarah Wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur – Timor Leste Satu Gunung Dua Dunungan

Judul
:
Sejarah Wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur – Timor Leste Satu Gunung Dua Dunungan
Penulis
:
Prof. Dr. S. Hudijono; Drs. Munandjar Widiyatmika & Drs. Djakariah M.Pd
Penerbit
:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun Cetak
:
2012
Halaman
:
331
ISBN
:
978-979-1274-63-0
Harga
:
NFS
Status
:
Kosong



Sejarah Wilayah Perbatasan NTT-Timor Leste merupakan akumulasi dinamika sejarah Perbatasan yang panjang. Pada masa pra kolonial Timor merupakan suatu wilayah yang bersatu di lingkungan kerajaan Wesei Wehali yang berpusat di Laran, Belu Selatan. Kerajaan Wesei Wehali yang diperintah raja yang bergelar Maromak Oan. Dalam menjalankan pemerintahan Wesei Wehali dibantu pejabat yang bergelar Liurai. Di wilayah bagian Timur yakni wilayah matahari terbit (rai Loro Sae) diperintah Liurai Likusaen. Di wilayah bagian Barat atau wilayah matahari terbenam (rai Loro Toba) diperintah Liurai Sonbai. Sedangkan dibagian tengah di Belu rai Wehali dikuasai oleh Liurai Fatuaruin. Kerajaan Wesei Wehali mengalami kemerosotan akibat serangan Portugis tahun 1642. Kerajaan-kerajaan kecil memisahkan diri. Hegemoni Wesei Wehali digantikan Portugis Hitam/Kase Metan di Noemuti. Sejalan dengan kedatangan bangsa Barat yakni Portugis dan Belanda di Timor, terjadi persaingan wilayah kekuasaan yang melibatkan para raja local yang menimbulkan perpecahan. Persaingan wilayah melalui serangkaian peperangan menimbulkan pergeseran wilayah, system pemerintahan tradisional dan pergeseran kependudukan akibat pengungsian. Portugis yang semula berkedudukan di Lifao sejak tahun 1702 sampai 1769 dipindahkan ke Dili sejak tahun 1769. Sedangkan Belanda mempunyai kedudukan di Benteng Concordia di Kupang.
Upaya mengatasi persaingan kekuasaan kolonial dan masalah perbatasan, dilakukan melalui sejumlah perjanjian. Tahun 1859 dilakukan perjanjian Lisabon, diikuti Konvensi London tanggal 1 Juli 1893 yang disahkan dalam Konvensi London 1904 yang menetapkan garis perbatasan kedua belah pihak. Keputusan Mahkamah Arbitrase 25 Juni 1914 dan selanjutnya Provinsial Agreement tanggal 8 April 2005. Serangkaian perjanjian tersebut menghasilkan sejumlah kesepakatan tentang garis perbatasan, wilayah perbatasan dan pertukaran wilayah perbatasan. Dari segi politik permasalahaan perbatasan dianggap telah selesai. Namun menyisahkan sejumlah masalah social, ekonomi dan budaya diwilayah perbatasan yang belum tuntas penanganannya. Maka masih diperlukan upaya mengatasi permasalahaan dan pembangunan wilayah perbatasan yang berorientasi perbaikan kesejahteraan masyarakat di perbatasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...