Judul |
: |
Advokasi
Inklusi Sosial: Praktik Baik Advokasi Penghayat Marapu di Sumba, Nusa
Tenggara Timur |
Penulis |
: |
Husni
Mubarok |
Penerbit |
: |
The Asia Foundation,
program Peduli, didukung oleh DFAT, Australia |
Tahun Cetak |
: |
2021 |
Halaman |
: |
128 |
ISBN |
: |
978-623-6143-76-6 |
Sumber |
: |
|
Download |
: |
November 2017, dekade
kedua reformasi, adalah bulan bersejarah bagi penghayat kepercayaan di
Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi sejumlah
penghayat kepercayaan terhadap pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1
Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) tahun 2013. Putusan MK
tersebut membuka peluang penghayat kepercayaan di Indonesia mencatatkan
keyakinannya pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Putusan MK yang
menguntungkan penghayat kepercayaan di atas bermula dari Sumba Timur, Nusa
Tenggara Barat. Yasalti, lembaga masyarakat sipil (selanjutnya disebut CSO),
mengupayakan warga di Sumba Timur memperoleh dokumen kependudukan.
Gugatan ke MK adalah
satu dari tiga strategi advokasi penghayat kepercayaan di bawah Program Peduli,
yakni perubahan kebijakan. Dua strategi lainnya, pelayanan publik dan pengakuan
sosial, secara simultan dilakukan. Donders, CSO yang mendampingi penghayat
Marapu di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, berhasil membangun kepercayaan diri
penganut Marapu untuk tampil dalam musyawarah formal, seperti Musrembangdes
(musyawarah perencanaan pembangunan tingkat desa). Penghayat Marapu sebelumnya
tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan semacam Musrembangdes karena persepsi
negatif seperti primitif, tak berpendidikan, dan ajaran sesat.
Bagaimana advokasi
inklusi sosial berhasil mengubah status kewarganegaraan dan relasi sosial
penghayat Marapu yang selama ini termarjinalkan? Bagaimana pemahaman atas
perubahan status kewarganegaraan penghayat Marapu itu menyumbang pada
perdebatan literatur tentang politik kewarganegaraan?
Menggunakan metode
penelitian kualitatif, monografi ini menemukan bahwa advokasi penghayat di
Marapu yang dilakukan Yayasan Donders dan Yasalti berhasil mendorong perubahan
layanan publik bagi penghayat Marapu. Pemerintah daerah yang semula melayani
secara diskriminatif, kini membuka ruang untuk pelayanan yang setara.
Keberhasilan tersebut
merupakan buah dari advokasi yang diletakkan sebagai gerakan sosial. Advokasi
ini menggunakan inklusi sosial sebagai bingkai yang mampu merangkul banyak
pihak untuk memperlakukan penghayat Marapu secara setara. Aktor dalam advokasi
ini juga mampu memanfaatkan gerbang kesempatan politik untuk mendorong
perubahan tersebut, pelayanan publik berupa administrasi kependudukan seperti
Akta Perkawinan dan Akta Kelahiran setara sebagaimana penganut agama lain.
Advokasi ini juga berhasil memobilisasi sumber daya tidak saja para pegiat CSO
yang mendampingi, tetapi juga kekuatan kultural Marapu dan kesejarahan warga
Sumba yang selalu terhubung dengan Para Marapu, walaupun menganut agama-agama
dunia.
Monografi ini juga menarik temuan dan pengalaman advokasi inklusi sosial tersebut ke dalam perdebatan politik kewarganegaraan. Studi ini memperlihatkan bahwa pendekatan kewarganegaraan formal dan informal tidak memadai untuk menjelaskan advokasi penghayat Marapu. Monografi ini mengusulkan demokrasi inklusif sebagai jalan keluarnya. Monografi ini bermanfaat bagi pembuat kebijakan, pegiat CSO, akademisi, dan mahasiswa yang hendak mempelajari advokasi, gerakan sosial, dan seputar penghayat kepercayaan di Indonesia.