Sabtu, 23 Juli 2016

Enu Molas di Lembah Lingko

Judul
:
Enu Molas di Lembah Lingko, Sebuah Novel
Penulis
:
Gerson Poyk
Penerbit
:
Q Publisher
Tahun Cetak
:
2015
Halaman
:
225
ISBN
:
978-602-1177-12-9
Harga
:
Rp. 80.000
Status
:
Kosong
Cerita ini dimulai dari datangnya Paul Putak, professor matematika di Kupang untuk mencari isteri. Ia bertemu dengan Enu Molas, ketua sanggar Penggali Kubur yang anggota-anggotanya sarjana nganggur yang membentuk usaha cari makan dengan mengharap banyak orang mati supaya sarjana-sarjana itu bisa hidup. Sang professor mengajak mereka membuka kebun berbentuk roda sepeda yang pagarnya Cuma 20 meter tapi bisa melindungi kebun per-orang 1 hektar. Nampaknya sang professor memakai sesuatu usaha koperasi pertanian modern melalui kearifan lokal yang disebut Lodok Lingko.
Kearifan budaya etnik masa lalu menjadi sumber insiparasinya untuk membentuk sebuah utopia yang bisa menjadi kenyataan, sebuah komunitas desa budaya berbasis lingko. Matahari di kepulauan yang melahirkan dan membesarkan dia diciptakannya kembali menjadi matahari di lembah lingko yang menyimpan energi subsistensi etis modern yang menjinakan teknologi serta ekonosentrisme myiopoic yang melahirkan pasar yang buas. Dalam buku ini mengandung roh perlawanan kreatif terhadap urbanisasi dan pengangguran massal di negeri ini.

Kamis, 21 Juli 2016

Dari Rote ke Iowa

Judul
:
Dari Rote ke Iowa, Kumpulan Puisi
Penulis
:
Gerson Poyk
Penerbit
:
Kosa Kata Kita
Tahun Cetak
:
2016
Halaman
:
111
ISBN
:
979-602-8966-91-7
Harga
:
Rp. 55.000
Status
:
Kosong

Puisi-puisi saya ini, dibuat sejak tahun 1950-an. Keseluruhan puisi merupakan akumulasi dari kisah perjalanan kehidupan saya selama berkiprah sebagai jurnalis maupun penulis sastra. Ada banyak derita dan absurditas yang terjadi di dunia ini, semua itu merupakan salib yang harus dipikul hingga ajal menjemput. Puisi-puisi yang beragam isinya ini, merupakan penggambaran bahwa ketidakadilan selalu terjadi dimana-mana, dia berpagut mesra dengan kebahagiaan dan kesenjangan yang ada di dalam diri manusia. Dalam dunia ini ada yang disebut absurd walls, yaitu tebing kontradiksi dan kemustahilan di mana dalam kehidupan manusia ada kerinduan, dunia di depan kerinduan dan kendala absurd. Untuk menghadapinya, ada tiga cara yaitu bunuh diri, bunuh orang dan jalan tengah (etis moral). Untuk mencapai ke etis moral, perlu pendidikan sastra dan membaca karya sastra, termasuk puisi didalamnya.

Rabu, 20 Juli 2016

Cendana dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur

Judul
:
Cendana dan Dinamika Masyarakat Nusa Tenggara Timur
Penulis
:
Munandjar Widiyatmika
Penerbit
:
Ombak
Tahun Cetak
:
2014
Halaman
:
167
ISBN
:
602-258-135-4
Harga
:
Rp. 68.000
Status
:
Ada
Cendana sebagai tumbuhan semi parasit yang secara alamiah tumbuh di lingkungan tanah berformasi batu karang dan iklim yang kering, merupakan tumbuhan asli Nusa Tenggara Timur. Karena kegunaan kayu cendana sebagai bahan perabotan mewah, bahan kosmetik, obat-obatan dan benda upacara, sejak masa sekitar awal abad masehi telah ramai diperdagangkan dalam pasaran dunia. Cendana dan perdagangan cendana menimbulkan kontak budaya antar pendatang dengan penduduk lokal.
Kontak dengan para pendatang yang semula hanya sebagai pedagang dan pelaut dalam perkembangan kemudian juga menjadi ajang persaingan dagang kekuasaan dan agama. Lebih-lebih setelah kedatangan bangsa Barat terutama Portugis dan Belanda di Nusa Tenggara Timur persaingan dagang, politik dan agama semakin sengit. Berbagai kelompok etnis di Nusa Tenggara Timur tidak bias menghindarkan diri dari kancah persaingan ini. Agar mereka mampu mempertahankan hidupnya harus mampu menyesuaikan diri secara dinamis dari berbagai pengaruh yang dating dari waktu ke waktu sepanjang perjalanan sejarah perdagangan cendana.
Perdagangan cendana sebagai suatu proses berlangsung dalam suatu struktur kemasyarakatan dan proses itu menghasilkan pola-pola struktur dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain proses itu menghasilkan dinamika masyarakat dan memberi corak berbagai struktur dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur. dari hasil perdagangan memberikan berbagai pengetahuan, peralatan dan ketrampilan baru, yang dalam proses pemanfaatannya menumbuhkan berbagai warna dan nilai baru dalam berbagai unsur kehidupan sosial budaya yang terikat dengan berbagai norma dalam struktur kehidupan. Akumulasi proses dalam jangka panjang telah terjadi berbagai dinamika dalam: bahasa, kesenian, upacara dalam rangka kepercayaan menyangkut daur hidup dan pola kehidupan sehari-hari seperti peralatan rumah tangga, pakaian, perhiasan, senjata, cara bertani, cara berperang, menenun terikat dengan norma-norma tertentu. Bahkan akhirnya juga menjadi daya dorong dan daya tarik masuk dan berkembangnya agama baru yakni agama Katolik, Kristen Protestan dan pendidikan dengan pola sebaran yang berbeda di Nusa Tenggara Timur.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila cendana tidak saja merupakan tumbuhan khas tetapi juga sebagai salah satu unsur utama yang memberikan iddentitas dinamika masyarakat Nusa Tenggara Timur seperti yang sekarang. Itulah sebabnya satu-satunya universitas negeri di Kupang mengambil nama Nusa Cendana, dengan harapan dapat menebarkan kaharuman menjadi pemberi identitas dan dinamika baru di masa depan bagi daerah dan masyarakat Nusa Tenggara Timur.


Selasa, 19 Juli 2016

Pasola

Judul
:
Pasola di Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur
Penulis
:
I Made Suarsana, I Gusti Ngurah Jayanti, I Kadek Dwikayana
Penerbit       
:
Ombak
Tahun Cetak
:
2014
Halaman
:
91
ISBN
:
602-258-239-7
Harga
:
Rp. 62.500
Status
:
Ada
Pasola merupakan tradisi ungkapan suka cita atas hasil panen dengan cara menunggang kuda secara berkelompok, kejar mengejar seraya melempar lembing kayu ke arah lawan ketika mereka sedang berhadapan. Inilah tradisi yang menguji keberanian dan sportivitas penduduk asli setempat. Acara ini adalah bagian dari serangkaian upacara tradisional tahunan penganut Marapu dalam menyambut Tahun Baru Adat di Kabupaten Sumba Barat Daya. Pasola biasanya diawali dengan upacara “nale”, yaitu pencarian cacing laut di pantai.
Masuknya kuda nale melintasi arena Pasola merupakan pertanda mulainya Pasola. Dua kelompok yang bertanding langsung memasuki arena dan mengitari arena sambil mengancung-ancungkan lembing. Setelah melihat kelompok lawan siap dan saling berhadapan, serangan lembing segera dilancarkan. Lembing-lembing kayu pun melesat di udara mencari sasarannya.
Buku ini memberikan gambaran mengenai tradisi Pasola di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.

Senin, 18 Juli 2016

Waingapu

Judul
:
Sejarah Sosial Masyarakat Nelayan di Pesisir Waingapu Sumba Timur Nusa Tenggara Timur 
Penulis
:
Nuryahman, I Ketut Sudharma Putra, Dwi Bambang Santoso
Penerbit
:
Ombak
Tahun Cetak
:
2014
Halaman
:
120
ISBN
:
602-258-241-0
Harga
:
Rp.40.000
Status
:
Kosong
Laut merupakan salah satu anugerah Tuhan yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan manusia, khususnya pangan. Sebagai negara bahari, tidaklah mengherankan jikalau Indonesia juga bertumpu kepada usaha perikanan, dengan nelayan sebagai “kasta” yang bertugas menggali manfaat kelautan. Setiap harinya mereka tidak hanya bergelut dengan ombak dan panasnya sinar matahari yang menyengat, namun juga kemiskinan -baik secara ekonomis maupun pendidikan- yang hadir akibat minimnya kesejahteraan sosial yang mereka terima.

Buku ini akan membawa kita kepada pemahaman tentang kehidupan nelayan di Waingapu, Nusa Tenggara Timur, berikut suka duka mereka yang notabene adalah saudara sebangsa dan senegara kita. Dengan pemaparan berbagai fenomena sosial yang terjadi di antara mereka, diharapkan buku ini dapat membantu kita dalam mengatasi krisis yang mereka hadapi, yang sejatinya adalah krisis bengsa dan negara ini juga.

Minggu, 17 Juli 2016

Sastra Indonesia Warna Daerah NTT

Judul
:
Sastra Indonesia Warna Daerah NTT
Penulis
:
Drs. Yohanes Sehandi, M.Si
Editor
:
Yoseph Yapi Taum
Penerbit
:
USD
Tahun Cetak
:
2015
Halaman
:
122
ISBN
:
978-602-0830-00-1
Harga
:
Rp.70.000
Status
:
Ada
Sastra Indonesia Warna Daerah NTT, menampilkan sejumlah pemikiran tentang eksistensi sastra Indonesia warna daerah atau warna local yang berkembang pesat sejak desentralisasi (otonomi) pemerintahan daerah di Indonesia yang dimulai tahun 2000 lalu. Di bidang kebudayaan, termasuk kesusastraan, setiap daerah menemukan jatidirinya yang khas dan menjadi kebanggaan daerah dan masyarakat yang bersangkutan. Demikian halnya dengan sastra Indonesia warna daerah NTT telah menemukan jatidirinya yang khas NTT dan menjadi kebanggaan daerah dan masyarakat NTT pada saat ini.
Perjalanan sastra NTT dari masa ke masa, membentangkan sejarah awal pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT yang dimulai tahun 1961. Ditelusuri masa jatuh bangunnya perjalanan sastra NTT dari tahun 1961 sampai Desember 2014. Buku ini membentangkan berbagai karya sastra NTT berupa buku novel, kumpulan cerita pendek, dan kumpulan puisi yang dihasilkan para sastrawan NTT selama kurun waktu 53 tahun ini.
Penulis memperkenalkan para sastrawan NTT yang telah ditemukan identitasnya dan telah pula mencermati kualitas literer karya sastra yang dihasilkannya. Mereka semua telah berjasa mengangkat citra dan kekayaan kultur lokal kedaerahan NTT (local genius dan local wisdom NTT) lewat karya sastranya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih luas.
Menyelisik sastra dan sastrawan NTT, berisi 13 esai mengulas geliat sastra dan sastrawan NTT. Ini menunjukan bahwa kehidupan sastra Indonesia di NTT tidak pernah sepi bahkan cukup semarak dan bergairah. Yang sepi adalah publikasinya di tingkat nasional, antara lain karena lemahnya akses NTT ke media massa tingkat nasional.

Sabtu, 16 Juli 2016

Pelabuhan Kupang

Judul
:
Pelabuhan Kupang dalam Perdagangan Abad ke-19
Penulis
:
I Putu Kamasan Sanjaya
Penerbit
:
Ombak
Tahun Cetak
:
2014
Halaman
:
108
ISBN
:
602-258-152-4
Harga
:
Rp. 45.000
Status
:
Ada

Pelabuhan Kupang yang terletak di bagian Barat Pulau Timor merupakan salah satu pelabuhan paling strategis di pulau Timor. Telah sangat lama Kupang menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Timor sejak abad ke-13. Berdasarkan sumber berita Cina Chau yu kua dalam bukunya Chu fan sih pada tahun 1225 menyebutkan pulau Timor yang disebut dengan nama Kihri Tinwu yang terletak di sebelah timur Tiongkalo, para raja dan keluarganya memperoleh kemakmuran dari perdagangan cendana.

Karena pentingnya letak strategis pelabuhan Kupang, maka sangat logis apabila pelabuhan Kupang menjadi incaran persaingan terutama setelah datangnya bangsa Barat. Persaingan antara Portugis dan VOC berlanjut tidak saja memperebutkan pelabuhan dan benteng tetapi juga wilayah pendukungnya sebagai sumber perdagangan cendana. Persaingaan secara berantai melalui serangkaian pertempuran berlangsung hampir satu abad. Pertempuran berakhir setelah pecah Perang Penfui tahun 1749. VOC berhasil mengalahkan kekuasaan Portugis dan sekutunya para raja di pedalaman. Sejak saat itu peran Portugis surut dan tergusur ke pedalaman.

Sebagai sebuah pelabuhan dan dilengkapi dengan Benteng, kemudian tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan. Terdapat beberapa kebijakan yang menyangkut Kupang dan Pelabuhan Kupang pada masa residen pertama J.A.Hazaart. Beberapa kebijakan tersebut adalah: pembentukan daerah penyangga bagi Kupang pada tahuh 1819 dalam rangka pengamanaan Kupang. Pembentukan daerah penyangga dimaksudkan karena Kupang selalu mendapat ancaman dari para raja pedalaman yang masih bersekutu dengan Portugis.

Dalam perkembangan kemudian pelabuhan Kupang yang menghadap ke laut terbuka di Teluk Kupang pada musim angin Barat, membuat kapal-kapal yang bersandar menghadapi terpaan angin yang kencang sehingga kapal-kapal harus berlindung di Mud Volcano di dekat Teluk Kupang. Namun pada tahun 1866 Mud Vocano tersebut rusak akibat erosi sehingga pada musim angin Barat kapal-kapal berlindung ke Pantai Hansisi di Pulau Semau. Atas pertimbangan evisiensi akhirnya pemerintah kolonial di Kupang merasa perlu membangun pelabuhan untuk tempat berlindung yang lebih aman dan dapat langsung dihubungkan dengan Kupang. Maka dibangun Pelabuhaan Tenau pada tahun 1875, serta untuk kelancaran hubungan dengan Kupang juga dibangun jalan raya. Dengan dibangunnnya pelabuhan Tenau Kupang maka secara berangsunr-angsur peran pelabuhan Kupang yang telah berlangsung beberapa abad menjadi surut dan digantikan oleh pelabuhan Tenau Kupang. Namun Kupang tetap berperan sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. (Munandjar Widiyatmika, sejarawan NTT)

Jumat, 15 Juli 2016

Kearifan Lokal Suku Helong

Judul
:
Kearifan Lokal Suku Helong, di Pulau Semau Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur
Penulis
:
I Made Satyananda dkk.
Penerbit
:
Ombak
Tahun Cetak
:
2013
Halaman
:
109
ISBN
:
602-258-122-2
Harga
:
Rp. 40.000
Status
:
Kosong
Setiap adat istiadat dan budaya masyarakat suatu suku bangsa yang hidup di tengah-tengah masyarakat selalu memiliki bentuk, nilai-nilai maupun norma-norma yang memberikan suatu kearifan lokal bagi keberlangsungan hidup suatu suku bangsa dalam wilayahnya, baik dalam pengelolaan alam maupun sosial masyarakatnya. Kearifan lokal dalam adat istiadat dan budaya suku Helong memiliki ciri khas yang spesifik dengan bentuk- bentuknya yang berbeda dengan adat istiadat dan budaya suku lainnya yang ada di Pulau Timor. Kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan alam dalam suku Helong tercermin pada pengelolaan laut, pertanian, sosial dan adat istiadat. Hal itu membuat suku Helong bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat dan adat hingga sekarang.
Buku ini hadir dalam rangka membantu upaya perlindungan dan pelestarian salah satu kearifan lokal di Nusantara. Kajian tentang bentuk, fungsi, nilai dan makna kearifan lokal salah satu suku di Pulau Timor tersebut terperikan secara lengkap dengan didukung data-data penelitian lapangan yang akurat. Melalui karya apik ini, anak cucu kita bisa mengetahui dan belajar mengenal kearifan lokal yang terkandung di dalam adat istiadat suku Helong sehingga dapat mensukseskan pelestarian tradisi dan pewarisan budaya luhur ke generasi penerus bangsa.

Kamis, 14 Juli 2016

Ine Pare

Judul
:
Ine Pare, Novel Ibu Padi
Penulis
:
F. Rahardi
Penerbit
:
Nusa Indah
Tahun Cetak
:
2015
Halaman
:

ISBN
:
979-429-342-3
Harga
:
Rp. 65.000
Status
:
Ada
“…. Dan kau, Ine Puu, lihatlah warna magenta dileherku! Inilah warna darah. Penanda lehermu akan terpenggal parang di Keli Ndota. Darah akan mengucur Ibu Pertiwi, alam akan kembali pada hukumnya; kau akan kembali ke pangkuan Nggae Wena Tana.”
Karena misteri hubungan antara Ine Puu dan Ine Pare, ramalan Burung Garugiwa ini akhirnya terpenuhi dalam diri Ine Pare. Hasrat bulan madu yang menyeruak dalam diri Bapa Angkasa (Dua Lulu Wula) dan Ibu Pertiwi (Nggae Wena Tana), yang terjelma dalam diri Ine Pare dan Ndale akhirnya berakibat darah harus mengalir dari leher Ina Pare di Keli Ndota, Lio-Ende. Dari sini tersebarlah padi ke seantero Lio dan Nusantara. Dan dengan ini pula, berakhirlah trik demi trik yang dilakukan Bedha untuk mempersunting Ine Pare.
Sebagai sebuah novel yang berlatarbelakangan sejarah dan tradisi, novel ini tidak hanya sekedar memberikan hiburan, tetapi mampu menghantar pembaca kepada kehidupan tradisional masyarakat Lio bahkan Flores dan NTT pada umumnya.

Rabu, 13 Juli 2016

Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur (Lamaholot)

Judul
:
Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur (Lamaholot)
Penulis
:
Tim Editor Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur
Penerbit
:
Nusa Indah
Tahun Cetak
:
2015
Halaman
:
285
ISBN
:
979-429-340-7
Harga
:
Rp. 85.000
Status
:
Ada
Cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini memperlihatkan kekayaan dan kompleksitas pemikiran masyarakat Flores Timur (Lamaholot), Flores, NTT. Sebagai sebuah cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi, cerita-cerita ini menghadirkan kesadaran kolektif (yang sering kali tidak disadari) yang terpatri pada pengalaman sejarah, pandangan dunia, imaginasi, kecemasan, keyakinan, mimpi dan fantasi. Selain itu, cerita-cerita ini pun lahir dan tumbuh dalam rekaman kesadaran dan jejak masa lalu, komunikasi dan relasi dengan kehidupan dunia bawah dan dunia atas, yakni dunia arwah, roh gunung, penguasa laut, hutan, batu, kayu, langit dan lain-lain.
Dengan ini, kehadiran kumpulan cerita rakyat ini bukan hanya sekedar menghadirkan pengalaman dan sejarah masa lalu masyarakat Flores Timur (Lamaholot), tetapi juga membuka tabir kearifan lokal dan pandangan hidup mereka di hari ini yang sekaligus penting untuk memprediksi dan merencanakan masa depan mereka.

Jumat, 01 Juli 2016

Pelabuhan Ende

Judul
:
Pelabuhan Ende Dalam Perdagangan di Nusa Tenggara Abad Ke-19
Penulis
:
Nuryahman
Penerbit
:
Ombak
Tahun Cetak
:

Halaman
:

ISBN
:
602-258-151-6
Harga
:
Rp. 45.000
Status
:
Kosong
Buku karya Nuryahman ini dapat dilihat sebagai satu usaha yang penting dalam rangka mengungkapkan keberadaan pelabuhan tua di Indonesia. Tidak banyak dilakukan penelitian atau penulisan tentang hal semacam itu di Nusa Tenggara, menyebabkan buku kecil ini menarik. Dalam buku ini Nuryahman mengungkapkan peranan Pelabuhan Ende, yang terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dalam perdagangan di kepulauan selama abad ke-19. Abad ke-19 dilihat sebagai satu zaman, periode yang penting dalam mendukung Ende sebagai pelabuhan dagang yang ramai. Bersama Solor dan Sumba, Ende merupakan pelabuhan penting yang merupakan daerah rebutan antara Portugis dan Belanda, yang selanjutnya terhubung dengan jaringan dagang internasional di abad ke-19.
Abad ke-19 merupakan masa krusial bagi pelabuhan Ende. Kehadiran Portugis dan Belanda di kepulauan membawa Ende menjadi rebutan antarkekuatan asing tersebut. Belanda memenangkan persaingan untuk menguasai wilayah Nusa Tenggara. Setelah sebuah benteng (poshouder) dibangun di Ende (pertengahan abad ke-19), maka Ende berada di bawah kontrol pemerintahan asing (Belanda). Akhir abad ke-19 (1891) Ende masuk jalur pelayaran internasional KPM (De Koninkijke Paketvaart Maatschappij), sebuah perusahan pelayaran partikulir Belanda, membawa kontrol yang semakin ketat atas keadaan wilayah dan perdagangan di Ende.
Paparan Nuryahman dalam buku ini menunjukkan betapa kekuatan Kontrol pribumi yang besar sebelumnya, jatuh ke tangan kekuatan pengaruh luar dalam proses kolonisasi di Nusa Tenggara. Ende termasuk Nusa Tenggara secara keseluruhan jatuh ke tangan kontrol Kolonial Belanda di abad ke-19. 

Demikian buku kecil ini menjadi menarik dan penting dibaca—meskipun dalam tingkat belum mendalam—dalam rangka memahami fenomena kesejarahan terkait dengan eksistensi pelabuhan-pelabuhan tua di Nusa Tenggara. (Prof. I Gde Parimartha, Fakultas Sastra Universitas Udayana)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...