Judul
|
:
|
Tradisi Tenun Ikat Nusantara
|
Penyunting
|
:
|
Benny Gratha & Judi Achjadi
|
Penerbit
|
:
|
Bab Publishing Indonesia
|
Tahun Cetak
|
:
|
2016
|
Halaman
|
:
|
152
|
ISBN
|
:
|
978-979-8926-33-4
|
Harga
|
:
|
Rp. 130.000
|
Status
|
:
|
Ada
|
Budaya
wastra Indonesia mencakup teknik yang sangat beragam. Teknik rintang warna yang
secara universal mengacu pada tenun ikat mungkin adalah teknik yang paling
dikenal. Kata ‘ikat’ berasal dari Bahasa Melayu yang berarti mengikat. Pada
proses ini, bagian benang yang tidak ingin dikenai warna tertentu pada proses
pencelupan, diikat kuat-kuat dengan serat alam yang dapat menahan pewarna agar
tidak dapat menembus ke dalam sserat benang. Hasil akhirnya berupa sepotong
wastra dengan ragam hias yang rumit dan kompleks yang memiliki kualitas tinggi
dan proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang lebih lama.
Ikat
lungsi ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, diantaranya di tanah
Batak di Sumatra Utara. Pulau Flores, Sumba, Roti, Sawu dan Timor di Nusa
Tenggara Timur, di Kalimantan, terutama di daerah pedalaman, di Sulawesi, di
daerah Rongkong dan Galumpang, dan di kepulauan Maluku, terutama di Pulau
Tanimbar dan Kisar.
Ragam hias
ikat pada wastra Indonesia sering menampilkan pengaruh asing, diantaranya
pengaruh wastra dari India yang sangat populer di seluruh kepulauan Nusantara,
yang oleh penduduk setempat ditafsirkan dengan caranya sendiri sehingga
menghasilkan wastra yang mengagumkan, dan kadang-kadang lebih indah dari
aslinya. Hal inilah yang menjadikan budaya wastra Indonesia saat ini dianggap
sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Wastra tradisional
memiliki fungsi khusus dalam kehidupan sosial, agama, estetika, dan ekonomi
masyarakat di Indonesia. Tenun ikat sudah sejak lama diketahui memiliki fungsi
khusus tersebut. Berdasarkan catatan sejarah, ikat lungsi dan ikat pakan telah
meresap ke dalam budaya setempat pada waktu dan dengan cara yang berbeda, di
mana ikat lungsi dikenal lebih dahulu daripada ikat pakan.
Di
Kalimantan, ikat lungsi yang disebut Pua
Kumbu, yang ditenun oleh masyarakat Dayak di pedalaman, digunakan pada
berbagai upacara adat di rumah panjang. Di Sulawesi, masyarakat Toraja yang
menempati daerah pegunungan di bagian utara Sulawesi Selatan, membuat selimut
ikat lungsi yang memiliki fungsi penting pada upacara penguburan. Sedangkan
tradisi ikat lungsi di Jawa berpusat di sekitar Troso di daerah pesisir Jawa
Tengah dan ikat pakan di Gresik dan juga Lamongan di seberangan perbatasan di
Jawa Timur. Para penenun di daerah tersebut membuat tenun dengan teknik ikat
menggunakan ragam hias tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, terutama
dari daerah Indonesia Timur. Masyarakat Jawa menggunakan wastra tersebut untuk
berbagai keperluan, baik untuk tradisional maupun modern, juga untuk diekspor
ke berbagai negara.
Buku ini
bertujuan untuk mengeksplorasi budaya tenun ikat di Indonesia yang rumit.
Budaya tenun ikat di setiap daerah akan dibahas secara menyeluruh. Setiap
perbedaan disebutkan dan diberi penjelasan yang memadai, dan perkembangannya
juga dianalisa. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi pengantar yang seksama
tentang kekayaan tenun ikat di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar