Judul |
: |
Emilie Jawa 1904 |
Penulis |
: |
Catherine van Moppés |
Penerbit |
: |
Kepustakaan Populer Gramedia |
Tahun Cetak |
: |
2010 |
Halaman |
: |
481 |
ISBN |
: |
978-979-91-0233-1 |
Harga |
: |
Rp. 65.000 |
Status |
: |
Ada |
Emilie lahir di kota kecil Langon
pada ujung abad ke-19. Dia dibesarkan ayahnya, seorang saudagar kaya, berhaluan
politik Republikan-Radikal, yang memihak apa dipandangnya sebagai
universalisme. Sang ayah adalah pengagum Emile Zola, yang memperjuangkan
penghapusan diskriminasi anti Yahudi. Namun, mencerminkan semangat zamannya,
dia meyakini bahwa, melalui kolonialisme, humanisme akan terwujud di belahan
negeri manapun. Paradoks zaman itu menjadi sumber pertanyaan yang
membayang-bayangi Emilie sepanjang pengalamannya di Hindia Belanda, ketika
mendampingi suaminya, Lucien, yang ditugaskan sebagai asisten keamanan pada
pemerintah kolonial di Batavia.
Ketika Emile mulai merasakan bahwa
cara Lucien menyikapi tanah jajahan semakin jauh dari pemahaman dirinya, dia
menjadikan seksualitas sarana pemberontakan politiknya. Perlahan tanah jajahan
bukan lagi tanah janjian sebagaimana pada masa remajanya, melainkan tanah
perjuangan bagi humanisme yang sesungguhnya, meski untuk itu ia harus rela
mengorbankan cinta utuh yang ditemuinya di Batavia. Maka Anendo mewakili sisa
impian masa mudanya tentang tanah janjian eksotis, dan sekaligus terbitnya
kesadaran baru yang bersifat politik.
Terjepit antara kedua kecenderungan itu, Lucien memilih status-quo: apapun humanisme acuan masa mudanya, dia semakin berpihak pada sistem kolonial, hingga menjadi semakin reaksioner dan represif. Emilie mengalami evolusi yang sebaliknya. Selaras dengan kian meluas hubungannya dengan masyarakat umum, dia kian menyadari betapa hampa selubung humanis-universalis yang melekat pada ideologi kolonial. Semakin Emile sadar atas manipulasi ideologis itu, dan semakin dirinya menyadari Lucien buta terhadap keadaan sesungguhnya, semakin pula ia merasa tak salah mengkhianatinya. Oleh karena itu pengkhianatan seksual Emilie, dengan Anendo yang pribumi itu, sejatinya berarti tercapainya puncak kesadaran politiknya.
Emilie bertemu secara kebetulan dengan aktivis pelarian dari Tiongkok itu. Dia segera menyadari bahwa idealisme mereka sejatinya jauh lebih radikal daripada “humanisme” burjuis yang diyakininya. Keterpikatan dengan gagasan mereka memaksanya melanggar aneka tabu sosial: tabu yang melarangnya untuk bergaul secara leluasa dengan orang-orang di luar kalangan Eropa. Setiap pelanggaran Emilie disertai oleh rasa pembebasan baru dan sekaligus peningkatan kesadaran politiknya. Meskipun masih kerap dipandang “kulit putih”, Emilie semakin nekat hingga pada akhirnya melakukan pelanggaran yang terberat: alias pengkhianatan atas pernikahannya, yang dilakukannya dengan Anendo, seorang “Inlander” dari sebuah pulau nun jauh di Timur sana, pulau Solor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar