Judul
|
:
|
Gereja Oeba Bukan
Nama tetapi Tanda (Sejarah GMIT Ebenhaezer Oeba 1910-2018)
|
Penulis
|
:
|
Ebenhaizer I.
Nuban Timo dkk
|
Penerbit
|
:
|
Satya Wacana
University Press
|
Tahun Cetak
|
:
|
2019
|
Halaman
|
:
|
434
|
ISBN
|
:
|
978-602-58812-5-1
|
Harga
|
:
|
RP. 200.000
|
Status
|
:
|
Kosong
|
Ada dua hal yang patut disebutkan tentang JEO, akronim popular yang
dipakai warga Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba untuk menyebut dirinya. Pertama,
arsitek gedung kebaktiannya yang uni tapi juga megah. Kedua, JEO adalah jemaat
GMIT pertama yang menggunakan air conditioning (AC) di gedung kebaktiannya. JEO
memanen banyak protes, tapi sekarang hampir semua gedung kebaktian di Kupang
justru menggunakan AC.
JEO uni; bukan hanya sekarang. JEO juga uni sejak awal berdirinya. Gedung
kebaktian JEO yang saat ini megah, mentereng dan ber-AC ternyata berawal dari
sebuah gedung ibadah yang mirip kandang kambing. Gedung ibadah pertama JEO
dibangun tahun 1911 di bawah pimpinan Ds. Willem Back dan Istri, Ny.
Back-Ortmann. Tahun 1918 kandang kambing itu diganti dengan gedung baru. Pendiri
gedung baru itu adalah seorang perempuan Ny. A. Hessing-Soede, isteri Pdt. Joh.
Hessing. Dana pembangunan juga diusahakan oleh sejumlah gadis muda Oeba antara
lain Naema Lalametan dan Agustina Ndoenbui. Mereka mengikuti kursus menjahit. Keduanya
berusia 15-17 tahun.
Uniknya nama kampong-kampung di sekitar JEO seperti Merdeka, Oetete,
Tode Kisar, Fatubesi, Straat A, juga dinarasikan di dalam buku ini. Betapa penting
warga Kota Kupang, juga warga JEO khususnya generasi muda miliki buku ini.
(Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar