Kamis, 26 Maret 2020

Gereja Oeba Bukan Nama tetapi Tanda (Sejarah GMIT Ebenhaezer Oeba 1910-2018)

Judul
:
Gereja Oeba Bukan Nama tetapi Tanda (Sejarah GMIT Ebenhaezer Oeba 1910-2018)
Penulis
:
Ebenhaizer I. Nuban Timo dkk
Penerbit
:
Satya Wacana University Press
Tahun Cetak
:
2019
Halaman
:
434
ISBN
:
978-602-58812-5-1
Harga
:
RP. 200.000
Status
:
Kosong


Ada dua hal yang patut disebutkan tentang JEO, akronim popular yang dipakai warga Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba untuk menyebut dirinya. Pertama, arsitek gedung kebaktiannya yang uni tapi juga megah. Kedua, JEO adalah jemaat GMIT pertama yang menggunakan air conditioning (AC) di gedung kebaktiannya. JEO memanen banyak protes, tapi sekarang hampir semua gedung kebaktian di Kupang justru menggunakan AC.

JEO uni; bukan hanya sekarang. JEO juga uni sejak awal berdirinya. Gedung kebaktian JEO yang saat ini megah, mentereng dan ber-AC ternyata berawal dari sebuah gedung ibadah yang mirip kandang kambing. Gedung ibadah pertama JEO dibangun tahun 1911 di bawah pimpinan Ds. Willem Back dan Istri, Ny. Back-Ortmann. Tahun 1918 kandang kambing itu diganti dengan gedung baru. Pendiri gedung baru itu adalah seorang perempuan Ny. A. Hessing-Soede, isteri Pdt. Joh. Hessing. Dana pembangunan juga diusahakan oleh sejumlah gadis muda Oeba antara lain Naema Lalametan dan Agustina Ndoenbui. Mereka mengikuti kursus menjahit. Keduanya berusia 15-17 tahun.

Uniknya nama kampong-kampung di sekitar JEO seperti Merdeka, Oetete, Tode Kisar, Fatubesi, Straat A, juga dinarasikan di dalam buku ini. Betapa penting warga Kota Kupang, juga warga JEO khususnya generasi muda miliki buku ini. (Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...