Judul
|
:
|
De Zeven Provinciën, Ketika Kelasi
Indonesia Berontak (1933)
|
Penulis
|
:
|
J.C.H. Blom & E. Touwen-Bouwsma
|
Penerbit
|
:
|
LIPI Press
|
Tahun Cetak
|
:
|
2015
|
Halaman
|
:
|
112
|
ISBN
|
:
|
978-979-799-826-4
|
Harga
|
:
|
Rp. 65.000
|
Status
|
:
|
Ada
|
Pada tahun 1930-an dunia mengalami
apa yang disebut zaman malaise,
krisis ekonomi. Akan tetapi, ketika itu pula pergerakan politik kebangsaan yang
radikal menaikan aktivitasnya. Ketika itu pulalah de Jonge, Gubernur Jenderal,
yang konservatif, bukan saja mengadakan penghematan anggaran belanja Hindia
Belanda, tetapi juga –dan lebih penting- melakukan pengekangan pergerakan
kebangsaan. Di zaman malaise ini
beberapa pemimpin pergerakan yang terkemuka, seperti Sukarno, Hatta dan
kawan-kawan ditangkap tanpa pengadilan, diasingkan.
Dalam suasana ketegangan sosial,
politik dan ekonomi inilah pula peristiwa yang tidak terduga terjadi –kelasi-kelasi
Indonesia di kapal De Zeven Provinciën
melakukan “pemberontakan”, sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pelaksanaan
“politik pengurangan gaji” oleh kolonialisme telah memancing keresahan nasional
yang selama ini hanya di simpan dalam hati. Ketika anak-kapal Eropa mengalami
pengurangan gaji lebih kecil dibandingkan pengurangan gaki kelasi pribumi maka
diskrepansi kolonial pun tampak sebagai ketidakadilan yang menghina.
Keresahan ekonomi dan ketimpangan
sosial telah mempersatukan para kelasi Indonesia, yang terdiri atas beberapa
suku bangsa dan penganut agama yang berbeda-beda dalam suatu sistem tindakan
yang sama. Pemberontakan di kapal De
Zeven Provinciën adalah cetusan nasionalisme Indonesia yang keras di saat
kekuasaan kolonial masih kuat bercokol.
Salah satu pemimpin pemberontakan adalah
kelasi kelas satu pribumi Marthin Paradja
yang merupakan putra Nusa Tenggara Timur asal Sabu. Beliau dimakamkan di
TMP Kalibata Jakarta dan namanya juga diabadikan menjadi nama jalan di Kota
Kupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar