Judul
|
:
|
Sejarah Wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur – Timor Leste
Satu Gunung Dua Dunungan
|
Penulis
|
:
|
Prof. Dr. S. Hudijono; Drs. Munandjar Widiyatmika &
Drs. Djakariah M.Pd
|
Penerbit
|
:
|
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
|
Tahun Cetak
|
:
|
2012
|
Halaman
|
:
|
331
|
ISBN
|
:
|
978-979-1274-63-0
|
Harga
|
:
|
NFS
|
Status
|
:
|
Kosong
|
Sejarah Wilayah Perbatasan NTT-Timor Leste merupakan
akumulasi dinamika sejarah Perbatasan yang panjang. Pada masa pra kolonial
Timor merupakan suatu wilayah yang bersatu di lingkungan kerajaan Wesei Wehali
yang berpusat di Laran, Belu Selatan. Kerajaan Wesei Wehali yang diperintah
raja yang bergelar Maromak Oan. Dalam menjalankan pemerintahan Wesei Wehali
dibantu pejabat yang bergelar Liurai. Di wilayah bagian Timur yakni wilayah
matahari terbit (rai Loro Sae) diperintah Liurai Likusaen. Di wilayah bagian
Barat atau wilayah matahari terbenam (rai Loro Toba) diperintah Liurai Sonbai.
Sedangkan dibagian tengah di Belu rai Wehali dikuasai oleh Liurai Fatuaruin.
Kerajaan Wesei Wehali mengalami kemerosotan akibat serangan Portugis tahun
1642. Kerajaan-kerajaan kecil memisahkan diri. Hegemoni Wesei Wehali digantikan
Portugis Hitam/Kase Metan di Noemuti. Sejalan dengan kedatangan bangsa Barat
yakni Portugis dan Belanda di Timor, terjadi persaingan wilayah kekuasaan yang
melibatkan para raja local yang menimbulkan perpecahan. Persaingan wilayah
melalui serangkaian peperangan menimbulkan pergeseran wilayah, system
pemerintahan tradisional dan pergeseran kependudukan akibat pengungsian.
Portugis yang semula berkedudukan di Lifao sejak tahun 1702 sampai 1769
dipindahkan ke Dili sejak tahun 1769. Sedangkan Belanda mempunyai kedudukan di
Benteng Concordia di Kupang.
Upaya mengatasi persaingan kekuasaan kolonial dan masalah
perbatasan, dilakukan melalui sejumlah perjanjian. Tahun 1859 dilakukan
perjanjian Lisabon, diikuti Konvensi London tanggal 1 Juli 1893 yang disahkan
dalam Konvensi London 1904 yang menetapkan garis perbatasan kedua belah pihak. Keputusan
Mahkamah Arbitrase 25 Juni 1914 dan selanjutnya Provinsial Agreement tanggal 8
April 2005. Serangkaian perjanjian tersebut menghasilkan sejumlah kesepakatan
tentang garis perbatasan, wilayah perbatasan dan pertukaran wilayah perbatasan.
Dari segi politik permasalahaan perbatasan dianggap telah selesai. Namun menyisahkan
sejumlah masalah social, ekonomi dan budaya diwilayah perbatasan yang belum
tuntas penanganannya. Maka masih diperlukan upaya mengatasi permasalahaan dan
pembangunan wilayah perbatasan yang berorientasi perbaikan kesejahteraan
masyarakat di perbatasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar