Judul
|
:
|
500 Tahun Timor Loro Sae
|
Penulis
|
:
|
Geoffrey C. Gunn
|
Penerbit
|
:
|
Sa’he Institute for Liberation
(SIL) dan Nagasaki University
|
Tahun Cetak
|
:
|
2005
|
Halaman
|
:
|
477
|
ISBN
|
:
|
979-3457-60-0
|
Harga
|
:
|
Rp. 150.000
|
Status
|
:
|
Kosong
|
500
Tahun Timor Loro Sae adalah buku pertama dalam bahasa Inggris yang
mencatat secara luas sejarah pulau kecil Timor, setelah sebelumnya tercatat
hanya di buku-buku berbahasa Portugis. Kini, setelah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia kiranya buku ini dapat memberikan kontribusi yang lebih luas.
Berbekal sumber-sumber dan arsip-arsip sejarah
berbahasa Eropa, Gunn berhasil menyatukan beberapa pandangan mengenai Funu
bangsa Timor, sebuah ciri ritual peperangan dan pengusiran orang asing khas
bangsa Timor. Sejarah ternyata menunjukkan bahwa kasus penaklukan Timor tidak
dapat disandingkan begitu saja dengan model klasik penaklukan kolonial seperti
penarikan pajak dan mission civilitrize.
Bahkan, seperti yang dijelaskan buku ini, Timor dan
kepulauan Flores-Solor lebih berfungsi sebagai pusat bisnis dari perdagangan
musiman, terutama bagi perdagangan kayu cendana Timor yang termasyur itu, yang
dijalankan oleh orang-orang Cina, Makao, Portugis, dan bangsa-bangsa lain. Dari
tahun 1500-an hingga abad 18, para kolonialis Belanda dan Portugis sudah cukup puas
dengan mengumpulkan upeti dari orang Timor dengan imbalan janji kesetiaan.
Namun dengan suksesnya penerapan sistem perkebunan kopi oleh Gubernur de Castro
pada tahun 1860an, sistem pemerintahan colonial Portugis di Timor menghadapi
beberapa tantangan.
Tapi benarkah para pemberontak yang mencoba
membebaskan Timor pada akhir abad 19 dan awal abad 20 semata karena mereka anti
pajak? Apakah pemberontakan besar Boaventura pada awal abad 20 telah membawa
serta benih-benih nasionalisme Timor? Bisakah pemberontakan Boaventura dan
serangkaian pemberontakan lain di Timor dipandang sebagai salah satu bentuk funu orang Timor? Apakah kapitalisme kolonial
Portugis di Timor meletakkan dasar-dasar bagi berjalannya sebuah negara? Selanjutnya,
apakah model pemerintahan Portugis di Timor lebih tepat dikategorikan sebagai
pemerintahan protektorat daripada pemerintahan colonial? Bagaimanakah seharusnya
kita memandang tradisi dan unsure-unsur pembentuk identitas bangsa Timor,
mengingat begitu lamanya peran misionaris gereja Katolik di Timor. Dalam konteks
kekinian, bagaimana para pemuda Timor masa kini membangkitkan kembali api funu Timor demi menghadapi pendudukan
Indonesia yang berlumuran darah itu?
Serangkaian pertanyaan yang diajukan buku ini
sekiranya dapat menjadi bahan-bahan pengembangan wacana mengenai Timor. Tidak hanya
bagi bangsa Timor sendiri, tapi juga bagi bangsa lain yang menaruh perhatian
pada perjuangan bagsa Timor dalam merebut kemerdekaan, baik ketika perjuangan
mereka berada di titik puncaknya (yang dipicu oleh kekalutan politik dan
ekonomi Indonesia pada tahun 1998) dan ketika perjuangan bangsa Timor berujung
pada kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar