Judul
|
:
|
Dua Mata yang Digelari Berkat
|
Editor
|
:
|
Oriol Dampuk
|
Penerbit
|
:
|
PCM (Penerbit Carol Maumere) Maumere
|
Tahun Cetak
|
:
|
2018
|
Halaman
|
:
|
152
|
ISBN
|
:
|
|
Harga
|
:
|
Rp.
|
Status
|
|
Kosong
|
Buku antologi puisi ini berisi 127 judul
puisi karya penyair Oriol Dampuk. Semua puisi tidak ada kolofonnya. Kolofon
adalah keterangan tempat, hari, tanggal, dan waktu penciptaan atau kelahiran
sebuah puisi. Ada puisi yang pendek, ada yang sedang, ada yang panjang.
Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini,
menurut pembacaan saya, merupakan hasil dari proses permenungan dan komtemplasi
penyairnya, baik secara mendalam maupun tidak. Tema dan realitas pengalaman yang
diangkat dalam puisi sebagian besar berkaitan manusia dan eksistensinya. Tidak
heran kalau ada banyak puisi yang terasa berat bagi pembaca, terutama pembaca
awam. Perlu upaya keras untuk menyelami puisi-puisi penyair ini. Itulah resiko
puisi yang dilahirkan dari hasil permenungan dan komtemplasi.
Alexander Aur dan Usman D. Ganggang yang
menulis Prolog dan Epilog buku puisi ini, sepertinya enggan memberi jalan
setapak kepada para pembaca untuk menelusuri jalan yang dilewati penyair ini.
Alexander Aur hanya mengulas satu puisi yang dipakai menjadi judul buku
"Dua Mata yang Digelari Berkat" (halaman 19), puisi yang lain tidak
disinggung. Usman Ganggang hanya menyinggung sekilas puisi "Vakum"
(halaman 97), yang lain tidak. Meskipun demikian, kedua penyair ini memberikan
banyak wawasan kepada pembaca tentang puisi khususnya dan sastra umumnya.
Oriol Dampuk lahir di Ruteng, Manggarai,
pada 23 Maret 1993. Menyelesaikan TK dan SD di Ruteng, SMP/SMA di Seminari Pius
XII Kisol, Manggarai Timur, Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret dan STFK
Ledalero, Maumere. Telah ditahbiskan menjadi pastor Katolik dan kini bertugas
sebagai gembala umat di Paroki St. Gregorius Borong, Manggsrai Timur.
"Menulis puisi bagi saya adalah
pekerjaan agung nan mulia," tulis penyair Oriol Dampuk pada pengantar
bukunya dengan judul yang bersifat kontemplatif: "Kata Menjadi
Cahaya" (halaman iii). *(Yohanes Sehandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar