Judul
|
:
|
Tenun Tradisional Nusa Tenggara
Timur, Kain Untuk Suami
|
Penulis
|
:
|
Fenny Purnawan
|
Fotografer
|
:
|
Poriaman Sitanggang
|
Penerbit
|
:
|
PT. Indofood Sukses Makmur Tbk
& PT. Natayu
|
Tahun Cetak
|
:
|
2004
|
Halaman
|
:
|
132
|
ISBN
|
:
|
979-98625-0-7
|
Harga
|
:
|
Rp. 140.000
|
Status
|
:
|
Ada
|
Sejak lama, filosofi di balik estetika
motif-motif yang tersebar di Nusantara –yang sering lenyap tanpa suara-
menantang kita untuk segera mancatat, menata, mengartikan dan yang tidak
tertinggal juga menginventarisasinya.
Pendekatan
kekayaan budaya kadang-kadang hanya mengundang chauvinisme, atau digunakan dalam upaya diplomasi di hadapan antar
bangs: betapa kita ini berbeda. Kita “mengeksploitasi” hal itu, sebagai
identitas budaya. Tetapi di lain pihak keberadaannya terabaikan dan rapuh.
Strategi kebudayaan Nusantara belum terpapar secara struktural. Sementara itu,
banyak karya seni Nusantara lenyap dari konteks masyarakatnya, namun dipajang
di salah satu museum dunia.
Selagi
kita berkutat membicarakan perhatian negara terhadap warisan budaya, kita masuk
dalam detak mesin dunia globalisasi. Penyeragaman hidup. Nilai estetika asing
tak henti-hentinya tiba dari dunia barat lewat munculnya generasi TV atau pun
yang dipanuti para khalayak “gedongan”. Seolah-olah itulah ukuran sebuah
kemajuan sosial atau prestise ekonomi. Bisakah kita mengartikan kemajuan
berbangsa dengan menampilkan sebuah budaya yang dapat kita banggakan? Apakah
kita tidak tergugah untuk mengintai “kekayaan” yang pernah kita miliki, lebih
dari sekedar pemetaan geografis?
Keberadaan
sebuah kehidupan seni dalam ekspresi karya komunitas “indigenous”, tidak mungkin terpisah dari tisikan sejarah leluhur
atau tatanan budaya dan sosial. Bahkan tatanan batin dan keluhuran alam.
Sayangnya, tutur arti motif-motif karya tenun Nusa Tenggara Timur belum lazim
dikenal masyarakat pulau-pulau lain. Namun, sering terjadi, sebelum kita sempat
menengok sejarah, teknik atau motif itu pudar dan tak terulang lagi.
Karya
para master tenun kita yang langka
dan indah, sebagian besar “terbang” ke museum dunia. Sebagian lagi, di tangan
kolektor pribadi. Karya-karya itu telah tercabut ddari konteks masyarakatnya.
Akibatnya, masyarakat pembuat tenun sering tidak memahami lagi makna estetika
atau teknik dari karya para leluhur. Sementara itu, masyarakat Indonesia
pemerharti tenun harus pergi ribuan kilometer untuk mempelajari karya-karya
tersebut.
Sejak
masa kolonial, dunia Barat mencoba memahami benda-benda peninggalan negara
jajahannya. Pada era abad dua puluh satu, museum di Barat berpacu memahami
seni-seni “pemula” (primitive). Orang
Prancis menyebutnya bukan lagi primitif, tetapi Les Arts Premieres. Koleksi ini bisa mengangkat prestise museum.
Buku
ini mencoba menjembatani pembaca dengan dunia tenun. Bukan hanya dari deskripsi
estetika. Tetapi ikut merasakan bagaimana para pelaku mencintai kehidupannya.
Segala upaya mengupas dan mendekatkan diri dengan keragaman budaya Nusantara
yang menjadi bagian identitas kita adalah pekerjaan yang berarti. Kita berharap
tersebarnya makna estetika tenun tersebut, bisa memperkaya peradaban hidup
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar