Judul
|
:
|
Dari Berburu ke Internet: Lompatan Budaya
Masyarakat Alor
|
Penulis
|
:
|
Sastri Sunarti
|
Penerbit
|
:
|
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
|
Tahun Cetak
|
:
|
2018
|
Halaman
|
:
|
45
|
ISBN
|
:
|
978-602-437-427-3
|
Sumber
|
:
|
|
Download
|
:
|
Pada masa lalu nenek moyang orang
Alor menyebut pulau mereka dengan nama Malua. Nama tersebut digunakan dalam
cerita-cerita lisan atau sejarah lisan Pulau Alor. Konon, nenek moyang
suku-suku yang terdapat di Alor datang dari berbagai tempat, salah satunya
adalah suku Tanglapui dari Alor Timur. Mereka menyebutkan, dalam cerita
lisannya, bahwa nenek moyang mereka berasal dari Pulau Timor yang berlayar ke
Pulau Malua dengan menaiki perahu. Hingga kini masyarakat Tanglapui masih
meyakini bahwa perahu nenek moyang mereka masih tersisa bangkainya dan sudah
menjadi batu di wilayah dataran tinggi Tanglapui, tepatnya di Desa Lankoli.
Selain Pulau Malua, pada masa lalu
juga dikenal nama Galiau sebagai nama lain untuk Pulau Pantar. Pulau Galiau,
atau sekarang Pantar, merupakan pulau terbesar kedua di Kabupaten Alor. Pulau
Pantar terletak di sebelah barat Pulau Alor. Selain kedua pulau besar tersebut,
Kabupaten Alor juga memiliki beberapa pulau kecil lainnya, seperti Pulau Pura,
Pulau Ternate, Pulau Buaya (Nuha Beng), Pulau Kepa, Pulau Tereweng, Pulau
Kangge, dan Pulau Rusa. Pulau yang terakhir dinamai demikian karena di pulau
itu masih banyak ditemukan rusa yang menjadi binatang favorit masyarakat
tradisional Alor untuk diburu.
Hampir semua pulau yang disebutkan
sebelumnya memiliki titik-titik (spot) untuk menyelam. Tempat-tempat tersebut
memiliki keindahan pemandangan, baik berupa terumbu karang, pantai, pasir putih
maupun aneka ikan yang berwarna-warni dan dapat dilihat dengan mudah dari
permukaan karena kejernihan air lautnya. Di dermaga Pantai Munaseli, Pantar
misalnya, kita masih dapat dengan jelas menyaksikan bintang laut yang
bersembunyi di tengah rumpun rumput laut. Demikian pula di Dermaga Alor Kecil,
ikan–ikan kecil berenang di pinggir dermaga dan dapat disaksikan dengan mata
telanjang. Titik-titik untuk menyelam di dalam atau di permukaan (snorkeling)
bagi para pecinta olahraga bawah laut terdapat di banyak tempat, seperti di
Pantai Sebanjar Alor Besar, Pulau Kepa, Pulau Ternate, Pulau Pura, Pulau
Tereweng, Pulau Sikka, Liang Lolong, dan Java Tena. Penyelam dari dalam dan
luar Indonesia menjadi pelanggan tempat-tempat tersebut.
Berbagai cerita mengenai keindahan
bawah laut Pulau Alor sudah menjadi buah bibir bagi para penyelam mancanegara.
Tidak hanya keindahannya yang membuatnya terkenal, tetapi juga kisah-kisah
mistis mengenai bawah laut Alor juga ikut mewarnai pengalaman para penyelam di
Pulau Alor. Salah satu contoh adalah kejadian mistis yang dialami para penyelam
di sana, seperti kisah penyelam dari Australia di Pulau Kepa.
“Penyelam dorang bacarita kepada
kita. Di bawah laut sana dorang bertemu satu taman yang sangat indah. Di bawah laut
Pulau Kepa ada satu taman yang dikelilingi pagar. Di balik itu pagar ada anak
tangga yang sepertinya bisa dinaiki, tetapi tiap kali itu penyelam mau masok ke
dalam taman, pagarnya selalu bergerak dan menjauh dari itu penyelam. Dorang
lihat ada banyak ikan bagus berupa warna berenang di dalam itu taman. Ikan-ikan
yang belum pernah dorang jumpa di tempat laen. Ajaib, pagarnya bergerak. Dorang
akhirnya naik kembali ke permukaan karena merasa takut dan heran.”
Demikian sebuah kisah mistis di
bawah laut Pulau Kepa yang pernah dituturkan oleh Bapak Sere. Beliau adalah
seorang pawang ritual Pou Hari yang selalu dilaksanakan di Pulau Kepa untuk
menghormati makhluk bawah laut yang masih diyakini oleh suku Manglolong, Alor
Kecil. Lokasi Alor Kecil dan Pulau Kepa saling berhadapan. Jika kita
menyeberang dari Alor Kecil ke Pulau Kepa, perjalanan dapat ditempuh dalam
waktu sepuluh menit dengan perahu motor dari dermaga Alor Kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar